Kamis, 18 Juni 2009

askep hiperbillirubin

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Semua bayi yang telahir dari ibu, hidupnya tak lagi mendapat suplay dari ibu. Baik nutrisi maupun oksigen. Semua hal yang berhubungan dengan kebutuhan hidupnya kini menjadi tanggungannya sendiri. Oleh karena itu secara fisiologi bayi akan mengalami penurunan berat badan karena dibutuhkan energi yang besar untuk mendapatkan nutirsi dan oksigen sendiri. Semua sistem dalam tubuhnya berubah, dipersiapkan untuk mengolah nutrisi dan beradaptasi dengan perubahan dari luar tubuhnya. Salah satu organ yang mengalami perubahan adalah hepar. Hiperbilirubin adalah suatu penyakit akibat kelebihan kadar bilirubin dalam darah. Dalam bayi keadaan ini disebut dengan Ikterus Fisiologis. Pada bayi keadaan hiperbilirubin ini secara fisiologis akan terjadi pada usia ke-2 dan ke-3 dan akan tampak jelas pada hari ke-5.Pada bayi kemungkinan terjadi akibat defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase, rendahnya pengambilan dari hepatic kemungkinan karena penurunan protein hepatic sejalan dengan penurunan aliran hepatic. 
Angka kejadian ikterus pada bayi sangat bervariasi di RSCM persentase ikterus neonatorum pada bayi cukup bulan sebesar 32,1% dan pada bayi kurang bulan sebesar 42,9%, sedangkan di Amerika Serikat sekitar 60% bayi menderita ikterus baru lahir menderita ikterus, lebih dari 50%. Bayi-bayi yang mengalami ikterus itu mencapai kadar bilirubin yang melebihi 10 mg.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian hiperbilirubin ?
2. Bagaimana klasifikasi hiperbilirubin ?
3. Bagaimana metabolisme bilirubin ?
4. Apa etiologi penyakit hiperbilirubin ?
5. Bagaimana patofisiologi hiperbilirubin ?
6. Bagaimana manifestasi klinis pada penyakit hiperbilirubin ?
7. Apa komplikasi hiperbilirubin ?
8. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan penyakit hiperbilirubin ?
9. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan hiperbilirubin ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui pengertian hiperbilirubin.
2. Untuk mengetahui klasifikasi hiperbilirubin.
3. Untuk mengetahui metabolisme bilirubin.
4. Untuk mengetahui etiologi penyakit hiperbilirubin.
5. Untuk mengetahui patofisiologi hiperbilirubin.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada penyakit hiperbilirubin.
7. Untuk mengetahui komplikasi hiperbilirubin.
8. Untuk mengetahui penatalaksanaan pasien dengan penyakit hiperbilirubin.
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pasien dengan hiperbilirubin.




























BAB II
KONSEP MEDIS

A. PENGERTIAN
Hiperbilirubin adalah meningginya kadar bilirubin dalam darah melebihi nilai normalnya pada bayi yang baru lahir. Nilai normal : bilirubin indirek 0,3 – 1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Ikterus neonatorium adalah disklorisasi pada kulit atau organ lain karena penumpukan bilirubin.

B. KLASIFIKASI
Ikterus dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Ikterus Fisiologis adalah :
Ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “Kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.
Warna kuning akan timbul pada hari ke-2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6 dan menghilang pada hari ke-10. Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan biasa. Kadar bilirubin serum bayi cukup bulan > 12 mg/dL dan pada BBLR 10 mg/dL., dan akan hilang pada hari ke-12.
2. Ikterus Patologis adalah :
Ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.
a. Akan timbul dalam 24 jam hari pertama dan serum bilirubin total > 12 mg/dL.
b. Peningkatan kadar bilirubin 5 mg % atau lebih dalam 24 jam.
c. Ikterus yang disertai proses hemolisis.
d. Bil direk > 1 mg/dL atau kenaikan bil serum > 1 mg/dL/jam atau > 5 mg/dL/hari.
e. Konsentrasi bil serum > 10 mg % pada BKB dari 12,5 mg % pada BCB.
f. Ikterus menetap sesudah bayi umur 10 hari ( bayi cukup bulan ) dan > 14 hari pada BBLR.

C. METABOLISME BILIRUBIN
Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :
1) Produksi
2) Transportasi 
3) Konjugasi
4) Ekskresi
Secara ringkas penjelasannya adalah:
o Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. 
  Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan  
  sebagian lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan 
  bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta 
  beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin 
  bebas atau bilirubin IX α. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak,  
  karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui 
  membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. 
o Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. 
o Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. 
o Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.

 Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. 
 Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

D. ETIOLOGI
 Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :
1. Produksi yang berlebihan
 Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses “Uptake” dan konjugasi hepar 
 Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “Uptake” bilirubin ke sel hepar.

3. Gangguan transportasi 
 Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam ekskresi
 Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

E. PATOFISIOLOGI
 Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
 Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.
 Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi. 

F. WOC (Web Of Caution)








































G. MANIFESTASI KLINIS
 Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.



Derajat Ikterus 
Daerah Ikterus
 Perkiraan Bili
Kadar Rubin
  Aterm Prematur
1.
2.

3.

4.

5. Kepala sampai leher
Kepala, badan, sampai dengan umbilicus
Kepala, badan, paha, sampai dengan lutut
Kepala, badan, ekstremitas, sampai pergelangan tangan dan kaki
Kepala, badan, semua ekstremitas sampai ujung jari 5,4
8,9

11,8

15,8 -
9,4

11,4

13,3




H. KOMPLIKASI
1. Terjadi kernicterus adalah suatu sindroma neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin tak terkonyugasi dalam sel – sel otak. Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus. Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.
2. Bilirubin Encephalopathy ( komplikasi serius ).


I. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Test Coom pada tali pusat bayi baru lahir.
 Hasil + tes ini, indirek menandakan adanya anti body Rh-positif, anti –A, atau anti_B dalam darah ibu. Direk menandakan adanya sensitisasi (Rh-positif, anti-A, anti-B) SDM dari neonates.
2. Golongan darah bayi dan Ibu : mengidentifikasi inkompatibilitas ABO.
3. Biliribin total.
 Kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dl, yang mungkin dihubungkan dengan sepsi .kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dl dalam 24 jam atau tidak boleh melebihi 20 mg/dl pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dl pada bayi preterm. protein serum total : kadar kurang dari 3,0 g/dl menandakan penurunan kapasitas ikatan terutama bayi preterm.
4. Hitung Darah Lengkap.
 Hb mungkin rendah (kurang dari 14 g/dl) karena hemolisis. Ht mungkin meningkat (lebih besar 65%) pada polisitemia, penurunan (kurang dari 45%) dengan hemolisis dan anemia berlebihan.
5. Glukosa.
 Glukosa darah lengkap kurang dari 30 mg/dl atau tes glukosa serum kurang dari 40 mg/dl bila BBL hipoglikemi dan mulai menggunakan simpanan lemak dan melepaskan asam lemak.
6. Daya ikat karbon dioksida.
 Penurunan kadar menunjukkan hemolisis.
7. Smear darah Perifer.
 Dapat menunjukkan SDM abnormal, eritoblastosis pada penyakit Rh atau sferositis pada inkompatibilitas ABO.

8. PENATALAKSANAAN
 Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kernikterus /ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal / fenobarbital)). Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. 
 
 Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. 
1. Terapi Sinar
 Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus. 
 Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi dikerjakan. 
 Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksi glass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
 Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun gonad tidakperlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin. 
 Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaanyang menyertainya diperbaiki. 
2. Fenobarbital 
 Fenorbarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatic glukoromil trnsferase yang dapat meningkatkan bil konjugasi dan clearance hepatic pada pigmen dalam empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
3. Antibiotik, apabila terkait dengan infeksi.
4. Transfusi Tukar
 Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasiKriteria melakukan transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin 
Prosedur transfusi tukar :
 Bayi ditidurkan rata di atas meja dengan fiksasi longgar.
 Pasang monitor jantung, alarm jantung diatur diluar batas 100-180 kali / menit.
 Masukkan kateter ke dalam vena umbilikalis.
 Melalui kateter, darah bayi diisap sebanyak 20 cc lalu dikeluarkan. Kemudian darah pengganti sebanyak 20 cc dimasukkan ke dalam tubuh bayi. Setelah menunggu 20 detik, lalu darah bayi diambil lagi sebanyak 20 cc dan dikeluarkan. Kemudian dimasukkan darah pengganti dengan jumlah yang sama, demikian siklus penggantian tersebut diulangi sampai selesai.
 Kecepatan mengisap dan memasukkan darah ke dalam tubuh diperkirakan 1,8 kg / cc BB/ menit. Jumlah darah yang ditransfusi tukar berkisar 140-180 cc / kg BB tergantung pada tinggi rendahnya kadar bilirubin sebelum transfusi tukar.





































BAB III
KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
Data dasar klien :
a. Aktivitas
Letargi, malas
b. Sirkulasi
Pucat menandakan adanya anemia.
c. Eliminasi
1) Bising usus hipoaktif.
2) Pasase mekonium mungkin lambat.
3) Feses lunak dan kehijauan selama pengeluaran billirubin.
4) Urine gelap dan pekat
d. Makanan/cairan
1) Riwayat pelambatan pemasukan oral (ASI).
2) Palpasi abdomen dapat menunjukkan pembesaran limpa.
e. Neurosensori
1) Sefalohematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang parietal yang berhubungan dengan trauma lahir.
2) Edema umum, hepatosplenomegali mungkin ada dengan inkompatibilitas Rh berat.
3) Kehilangan reflek moro.
4) Opitotonus dengan kekakuan lengkung punggung, fontanel menonjol, menangis lirih, aktifitas kejang (tahap krisis).
f. Pernafasan
1) Riwayat asfiksia.
2) Krekels, mucus bercak merah muda (edema pleural, hemoragi pulmonal).

g. Keamanan
1) Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus.
2) Dapat mengalami ekimosis berlebihan, petekie, perdarahan intra cranial.
3) Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
2. Pengelompokan Data
a. Data Subyektif
1) Pasien mengatakan pernah mempunyai riwayat afiksia.
2) Pasien mengatakan mengalami trauma lahir.
b. Data Obyektif
1) Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
2) Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi.
3) Hepatosplenomegali.
4) Tahap krisis : epistetanus, aktivitas kejang.
5) Urine gelap pekat.
6) Bilirubin total :
• Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL.
• Kadar indirek < 20 mg/dL.
7) Protein serum total < 3,0 g/dL.
8) Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko tinggi injury (internal), keterlibatan SPP b/d peningkatan serum bilirubin indirek.
2. Resiko gangguan integritas kulit b/d fototerapi.
3. Kecemasan orang tua b/d kondisi bayi.
4. Kurang pengetahuan orang tua b/d kurangnya pengalaman orang tua.

C. INTERVENSI
Diagnosa I : Resiko tinggi injuri (internal), keterlibatan SPP b/d peningkatan serum 
  bilirubin indirek.
Tujuan : Injuri (internal) tidak terjadi.
Kriteria Hasil :
1. Menunjukkan kadar bilirubin indirek di bawah 12 mg/dL.
2. Resolusi ikterik pada akhir minggu I tetap.
3. Bebas dari keterlibatan SPP.
Intervensi :
1. Perhatikan kelompok dan golongan darah ibu/bayi.
Rasional : 
Inkompatibilitas ABD mempengaruhi 20 % darah selama kehamilan dan paling umum terjadi pada ibu dengan golongan darah O, yang AB-nya anti-A dan anti-B melewati sirkulasi janin menyebabkan aglutinasi dan hemolisis SDM.
Serupa dengan itu, bila ibu Rh (-) sebelumnya telah disentisasi oleh antigen Rh-positif, antibody melewati plasenta dan bergantung pada SDM janin menyebabkan hemolisis.
2. Tinjau ulang kondisi bayi pada kelahiran, contoh asfiksia atau asidosis.
Rasional :
Asfiksia dan asidosis merupakan afinitas bilirubin terhadap albumin.
3. Pertahankan bayi tetap hangat dan kering. Pantau kulit dan suhu inti dengan sering.
Rasional :
Stress dingin berpotensi melepaskan asam lemak, yang bersaing pada sisi ikatan pada albumin, sehingga meningkatkan kadar bilirubin yang bersirkulasi dengan bebas.
4. Mulai pemberian makan oral awal dalam 4-6 jam kelahiran, khususnya bila bayi diberi ASI. Kaji bayi terhadap tanda-tanda hipoglikemia.
Rasional :
Keberadaan flora usus yang sesuai untuk pengurangan bilirubin terhadap urobilinogen, turunkan sirkulasi enterohepatik bilirubin (melintasi hepar dengan duktus venosus menetap). Hipoglikemia memerlukan penggunaan simpanan lemak untuk asam lemak pelepas energi, yang bersaing dengan bilirubin untuk bagian ikatan pada albumin.
5. Kolaborasi : pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi (bilirubin direk dan indirek)
Rasional :
Bilirubin tampak 2 bentuk : bilirubin direk, yang dikonjugasi oleh enzim hepar glukofenil transferase, dan bilirubin indirek yang dikonjugasi dan tampak dalam bentuk bebas dalam darah atau terikat pada albumin.
Bayi potensial terhadap kenicterus diprediksi paling baik melalui peningkatan bilirubin indirek. Peningkatan kadar bilirubin indirek 18-20 mg/dL pada bayi cukup bulan, atau lebih besar dari 13-15 mg/dL pada bayi pratern atau bayi sakit adalah bermakna.
 Diagnosa II : Resiko gangguan intregitas kulit b/d fototerapi 
 Tujusn : Resiko gangguan integritas kulit tidak terjadi 
 Kriteria hasil : 
1. Mempertahankan suhu tubuh dan keseimbangan cairan dalam batas normal. 
2. Bebas dari cedera kulit dan jaringan 
3. Mendemonstrasikan pola interaksi yang diharapkan 
4. Menunjukkan penurunan kadar bilirubin serum 
Intervensi : 
1. Perhatikan adanya atau perkembangan bilier atau obstruksi usus 
Rasional : 
Fototerapi dikontraindikasikan pada mkondisi ini karena foto isomer bilirubin yang diproduksi dalam kulit dan jaringan subkutan dengan pemajanan pada terapi sinar tidak dapat siap diekskresikan. 
2. Ukur kuantitas fotoenergi pola lampu fluorosen dengan menggunakan fotometer.
 Rasional : 
Intensitas sinar menembus permukaan kulit dari spektrum ungu menentukan seberapa dekat bayi di tempatkan terhadap sina.Sinar biru dan biru khusus dipertimbangkan lebih efektif daripada sinar putih dalam meningkatkan bilirubin.Tetapi hal ini membuat kesulitan dalam mengevaluasi bayi baru lahir terhadap sianosis.  
3. Tutup testis dan penis pada bayi pria.
Rasional : 
Mencegah kerusakan testis dari panas. 
4. Pasang lapisan ptiglas diantara bayi dan sinar. 
Rasional : 
Menyaring rafiasi sinar ultraviolet (panjang gelombang lebih sedikit dari 380 nm) dan melindungi bayi bila bola lampu pecah. 
5. Pantau kulit neonatus dan suhu inti setiap 2 jam atau lebih sering sampai stabil dan ukur suhu inkubator dengan tepat.
Rasional : 
Fluktuasi pada suhu tubuh dapat terjadi sebagai respon terhadap pemajanan sinar,radiasi dan konveksi. 
6. Pantau masukan dan haluaran cairan; timbang BB bayi 2x sehari; perhatikan tanda-tanda dehidrasi (misalnya : penurunan haluaran urine, fountanel tertekan, kulit hangat dan kering dengan turgor buruk dan mata cekung), tingkatkan masukan cairan peroral sedikitnya 25%. 
Rasional : 
Peningkatan kehilangan air melalui feses dan evaporasi dapat menyebabkan dehidrasi.Catatan : bayi dapat tidur lebih lama dalam hubungannya dengan fototerapi, menungkatkan resiko dehidrasi bila jadwal pemberian makan yang sering tidak diperhatikan. 
7. Perhatikan perubahan perilaku atau tanda-tanda penyimpangan kondisi (misalnya: letargi,hipotonis,hipertonis,atau tanda-tanda eksipapiramidal). 
Rasional : 
Perubahan ini dapat bermakna deposisi pigmen empedu pada basal ganglia dan terjadinya kepraktus. 
8. Kolaborasi : Pantau pemeriksaan laoratorium sesuai indikasi (kadar bilirubin setiap 12 jam). 
Rasional :
Penurunan kadar bilirubin menandakan keefektifan fototerapi,peningkatan yang kontinyu dan dapat menandakan hemolisis yang kontinyu dan dan dapat menandakan kebutuhan terhadap transfusi tukar. 
 Diagnosa III : Kecemasan orang tua b/d kondisi bayi 
 Tujuan : Orang tua tidak tampak cemas. 
 Kriteria hasil : 
1. Mengharapkan pemahaman tentang penyebab,tindakan dan kemungkinan hasil hiperbilirubin. 
2. Berpartisipasi aktif pada perawatan bayi. 
3. Mengekspresikan perasaan dan perhatian pada bayi. 
Intervensi : 
1. Berikan informasi tipe-tipe ikterik dan faktor-faktor fisiologis dan implikasi maa datang dari hiperbilirubin.Anjurkan untuk memberikan pertanyaan; tegaskan atau perjelas informasi sesuai kebutuhan. 
2. Tinjau ulang maksud dari mengkaji bayi terhadap peningkatan kadar bilirubin (Misalnya, mengobservasi pemucatan kulit diatas tonjolan tulang atau perubahan perilaku), khususnya bila bayi dipulangkan dini,tekankan pemberat. 
Rasional : 
Memungkin kan orang tua mengenali tanda-tanda peningkatan kadar bilirubin dan mencari evaluasi medis tepat waktu. 
3. Diskusikan penatalaksanaan dirumah dari ikterik fisiologis ringan atau sedang termasuk peningkatan pemberian makan langsung pada sinar matahari dengan program tindak lanjut tes serum. 
Rasional : 
Pemahaman orang tua membantu mengembangkan kerjasama mereka bila bayi dupulangkan. Informasi membantu orang tua melaksanakan penatalaksanaan dengan aman dan tepat dan mengenali pentingnya semua aspek program penatalaksanaan. 
4. Berikan informasi tantang mempertahankan suplai ASI melalui penggunaan pompa payudara dan tentang kembali menyusui ASI bila ikterik memerlukan pemutusan menyusui. 
Rasional : 
Membantu ibu untuk mempertahankan pemahaman pentingnya terapi.Mempertahankan supaya orang tetap mendapatkan informasi tentang keadaan bayi, meningkatkan keputusan berdasarkan informasi. 
5. Diskusikan kemungkinan efek-efek jangka panjang dari hiperbilirubin dan kebutuhan terhadap pengkajian lanjut dan intervensi dini. 
Rasional : 
Kerusakan neurologis dihubungkan dengan krepiktus,meliputi kematian, palsiserebral, retardasi mental, kesulitan sensori, perlambatan bicara, dan hipoplasia email atau warna gigi hijau kekuningan. 
Diagnosa IV : Kurang pengetahuan orang tua b/d kurangnya pengalaman orang tua.
Tujuan : Orang tua mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur dan  
  proses pengobatan.
Kriteria Hasil : 
1. melakukan prosedur yang diperlukan dan menjelaskan alasan dari suatu tindakan.
- memulai perubahan gaya hidup yang diperlukan dan ikut serta dalam regimen perawatan.
Intervensi dan Implementasi:
a. Kaji tingkat pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
R/ mengetahui seberapa jauh pengalaman dan pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakitnya.
b. Berikan penjelasan pada klien tentang penyakitnya dan kondisinya sekarang.
R/ dengan mengetahui penyakit dan kondisinya sekarang, klien dan keluarganya akan merasa tenang dan mengurangi rasa cemas.
c. Anjurkan klien dan keluarga untuk memperhatikan diet makanan nya.
R/ diet dan pola makan yang tepat membantu proses penyembuhan.
d. Minta klien dan keluarga mengulangi kembali tentang materi yang telah diberikan.
R/ mengetahui seberapa jauh pemahaman klien dan keluarga serta menilai keberhasilan dari tindakan yang dilakukan.


D. IMPLEMENTASI
 Implementasi dilaksanakan sesuai dengan rencana intervensi yang telah disusun.

E. EVALUASI
 Tujuan tercapai, tindakan dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar